Minggu, 04 November 2012

HAPAG UTS

1. eksistensi peradilan agama 
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman.
Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.



Pengertian Hukum Acara
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).  


2. proses beracara di pengandilan agama tentang perceraian 

1. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah :

    Mengajukan Gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama, hal ini berdasarkan Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989;
    Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama tentang tata cara membuat Surat Gugatan, hal ini berdasarkan Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989;
    Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum, namun jika Tergugat telah menjawab surat gugatan dan ternyata terdapat perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

2. Pengadilan tempat Gugatan didaftarkan :

    Bilamana Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat, hal ini berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974;


    Bilamana Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat, hal ini berdasarkan Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989;


    Bilamana Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, hal ini berdasarkan Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989.

3.  Alasan dalam Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama :

    Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
    Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin ataupun alasan yang jelas, dengan kata lain perbuatan suami merupakan perbuatan sadar dan sengaja dilakukan.
    Suami mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;


    Suami melakukan kekerasan terhadap isteri, bertindak kejam dan suka menganiaya;
    Suami tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang diderita;


    Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
    Suami melanggar taklik talaq yang diucapkan saat ijab qabul;
    Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam keluarga. (ketentuan hal-hal sebagaimana tersebut diatas berdasarkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975).

4. Saksi dan Bukti


Pihak Penggugat (isteri) wajib membuktikan di Pengadilan kebenaran alasan-alasan tersebut, dengan hal-hal berikut ini :

    Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau lebih, hal ini berdasarkan Pasal 74 UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 135 KHI.


    Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan isteri adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak mampu memenuhi kewajibannya, hal ini berdasarkan Pasal 75 UU No. 7 Tahun 1989.


    Keterangan dari saksi-saksi, baik saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran antara isteri (si penggugat) dengan suaminya, hal ini berdasarkan Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 134 KHI.

5. Surat-surat yang harus dipersiapkan, antara lain :

    Surat Nikah asli:
    Foto copy surat Nikah masing-masing 2 (dua) lembar yang dibubuhi materai dan dilegalisir;
    Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru dari pihak Penggugat;
    Foto copy Kartu Keluarga; dan
    Foro copy akta kelahiran anak (apabila sudah memiliki anak) dengan dibubuhi materai serta dilegalisir.

6. Permohonan Gugatan harus memuat :


    Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.
    Posita atau fakta kejadian dan fakta hukum.
    Petitum yakni hal-hal yang dituntut berdasarkan posita.

7. Terkait Gugatan lain seperti halnya penguasaan anak, nafkah anak dan isteri serta harta bersama, dapat diajukan secara bersama-sama dalam Gugatan Perceraian atau dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap, hal ini berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

8. Biaya Perkara :

    Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.
    Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir, hal ini berdasarkan Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989.


    Namun terhadap mereka yang tidak mampu, maka dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo), hal ini berdasarkan Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.

9. Setelah melalui proses diatas dan Penggugat telah mendaftarkan Gugatan Perceraiannya ke Pengadilan Agama, maka Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama.

10. Tahapan Persidangan :


    Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi, hal ini berdasarkan Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989;


    Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi, hal ini berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003;


    Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik), berdasarkan Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg.

11. Putusan Pengadilan Agama atas Gugatan Cerai :

    Gugatan dikabulkan.  (dalam hal ini bilamana Tergugat tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding melalui Pengadilan Agama).


    Gugatan ditolak. (dalam hal ini bilamana tidak menerima putusan hakim maka Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama).
    Gugatan tidak diterima. (dalam hal ini Penggugat dapat mengajukan gugatan baru).

Dan terhadap hal-hal tersebut diatas, bilamana Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera Pengadilan Agama akan memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Demikian penjelasan mengenai prosedur Gugatan Perceraian ke Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan yang berlaku. 


3. perbeaan HAPAG dan HAPER

A.     Perbedaan dalam kewenangan


a.    Hukum Acara Pengadilan Agama khusus (masyarakat yang beragama islam)
Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas dan kewenangan tertentu seperti tersebut pada Pasal 49  UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam di bidang :
a.    Perkawinan
b.    Kewarisan
c.    Wasiat
d.    Hibah
e.    Wakaf
f.    Zakat
g.    Infaq
h.    Shodaqoh
i.    Ekonomi Syari’ah
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum .


b.    Kewenangan hukum acara perdata umum

Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan, memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan eksekusi melalui hakim dalam lingkungan peradilan perdata. ( hukum formil )
Hukum acara perdata bersifat mengikat atau bersifat memaksa, yaitu bahwa bila terjadi suatu proses acara  perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar melainkan harus ditaati oleh para pihak.



3. Inti dari hukum terletak pada asas-asanya yang kemudian diformulasikan menjadi perangkat peraturan perundang-undangan, begitu juga dengan peradilan agama, terutama pada saat beracara di pengadilan agama,maka harus memperhatikan asas-asas sebagaimana yang termaktup dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Adapun asas yang berlaku pada peradilan agama hampir sama dengan asas-asas yang berlaku di pengadilan umum.

1. Asas Personalitas Keislaman
Asas personalitas keislaman hanya untuk melayani penyelesaian perkara dibidang terentu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 49 Undang-Undang 3 Tahun 2006, yaitu menyelesaikan perkara perkawinan, zakat, wasiat, wakaf, infak, waris, hibah, sedekah, dan ekonomi syariah dari rakyat Indonesia yang beragama Islam. Dengan kata lain keislaman seseoranglah yang menjadi dasar kewenangan pengadilan di lingkungan peradilan agama.
Indikator untuk menentukan kewenangan pengadilan agama terhadap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yaitu, agama yang dianut kedua belah pihak ketika terjadinya hukum dan hubungan ikatan mereka berdasarkan hukum Islam. Jadi jika salah satu dari patokan itu tidak terpenuhi maka kedua belah pihak yang bersengketa di bidang tersebut tidak berlaku asas personalitas keislaman.

Dasar yang menjadi patokan pada asas personalitas keislaman ini adalah dasar umum dan saat terjadinya hubungan hukum. Patokan umum dapat dilihat keislaman seseorang hanya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk, SIM, atau tanda bukti yang lainnya tanpa mempertimbangkan kwaliats keislaman oarang tersebut.

4. kewenangan peradilan agama 
Kewenangan Mengadili Peradilan Agama
Adapun kewenangan mengadili badan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua) kewenangan yaitu: 

1. Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Contoh perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama..

2. Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “Actor Sequitur Forum Rei”.

@baymuzaqir

1 komentar:

Unknown mengatakan...

thank'sgan,udah ane tunggu postingannya datang jua..hahaha semoga keluar besok di UTS

Posting Komentar

 
;