Jenis jenis korban :
Konggres PBB ketujuh
telah mengelompokkan macam-macam korban sebagai berikut:
- Korban kejahatan konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa atau kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan lain-lain;
- Korban non-konvensional adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana berat seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisir dan kejahatan computer;
- Korban kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power)
terhadap hak asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan
yang melanggar hukum dan lain sebagainya.
Pengelompokan atas
macam-macam korban tersebut didasarkan atas perkembangan masyarakat. Terhadap
korban kategori ketiga adanya korban penyalahgunaan kekuasaan berkaitan dengan
pelanggaran hak asasi manusia. Kemudian sejak viktimologi diperkenalkan sebagi
suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji permasalahan korban serta segala aspeknya,
maka wolfgang melalui penelitiannya menemukan bahwa ada beberapa macam korban
yaitu:
- Primary victimization, adalah korban individual/perorangan bukan kelompok;
- Secondary Victimization, korbannya adalah kelompok, misalnya badan hukum;
- Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas;
- Non Victimozation, korbannya tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan hasil peroduksi. Uraian mengenai macam-macam korban diatas maka dapat dipahami bahwa korban pada prinsipnya adalah merupakan orang yang mengalami penderitaan karena suatu hal yang dilakukan oleh orang lain, institusi atau lembaga dan structural. Yang dapat menjadi korban bukan hanya manusia saja, tetapi dapat pula badan hukum atau perusahaan, Negara, asosiasi, keamanan, kesejahteraan umum dan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siapa saja dapat menjadi korban, dengan kata lain semua orang berpotensi menjadi korban dan begitu pula sebaliknya semua orang berpotensi untuk menimbulkan korban.
3. Tipologi Korban
Untuk memahami peran
korban, harus dipahami pula tipologi korban yang dapat diidentifikasi dari
keadaan dan status korban. Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
- Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
- Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
- Biologically weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa.
- Socially Weak Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan sebagainya.
- Self Victimizing, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
Kasus : Viktimologi
Permasalahan sosial tentang
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak pada si korban baik secara fisik maupun psikis korban tersebut.
Akibat penganiayaan fisik yang jelas menderita sakit badaniah contoh: penganiayaan
yang dilakukan oleh suami di Surabaya yang menyiramkan air panas ke muka
istrinya yang berakibat fatal wajah istrinya tersebut menjadi melepuh.
Penganiayaan – penganiayaan yang juga dilakukan oleh orang tua kepada anak –
anaknya juga sering kita dengar dan lihat mengakibatkan anak tersebut menderita
patah, memar maupun yang sangat yang lebih marah sampai meninggal dunia.
Dari contoh – contoh diatas
merupakan dampak – dampak fisik akibat dari KDRT yang secara tidak langsung
akan juga berdampak pada kondisi psikologis para koraban KDRT, (penganiayaan
anak yang dilakukan orang tua) akibat yang dilakukan oleh orang tua merupakan
pengalaman yang sangat negatif bagi anak. Dengan demikian, tidak mengejutkan
bila banyak di antara anak –anak mengalami gangguan serius dan berlangsung
dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dengan hubungan sosial,
dan perilaku mereka secara umum. Self Esteem yang rendah, kecemasan, perilaku
merusak diri (self destructive), dan
ketidakmampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan orang lain
adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa kanak – kanak yang lazim
dilaporkan (Milner dan Crouch, 1999). Pada dampak penganiayaan pada pasangan
yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, selain menimbulkan akibat
fisik badaniah ( cedera yang serius. Lebih tingginya insiden penyakit fisik
yang berhubungan dengan stress) dan efek yang bersifat ekonomis. Diantara efek
– efek psikologis penganiayaan pasangan, depresi, kecemasan, dan self esteem
yang negatif telah diidentifikasi sebgai respon yang lazim dijumpai. Selain
itu, penganiayaan pasangan memiliki efek adversif terhadap hubungan antar
pribadi secara umum.
Perempuan juga sering menjadi korban karena perempuan
sebagai korban berada pada daerah yang rawan atau karena dianggap tidak akan
berani melakukan perlawanan sebagai pembalasan yang memadai sehingga kelemahan
ini sering dimanfaatkan seenaknya oleh sipelaku yang merasa dirinya lebih kuat,
lebih berkuasa dari pada pihak korban. Seperti misalnya dalam keluarga,
perempuan sebagai istri sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh
suami karena istri dianggap sangat bergantung pada suami. Hal inilah yang
dipakai sebagai salah satu alasan diundangkannya Undang-Undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), dan kekerasan yang dimaksudkan disini tidak hanya kekerasan fisik
tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual atau juga penelantaran rumah
tangga. Demikian pula halnya dengan kondisi perempuan sebagai buruh, pembantu
rumah tangga ataupun sebagai pegawai atau karyawan yang secara individual
mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak majikan sehingga
majikan dapat melakukan tindakan seenaknya seperti penganiayaan, pebudakan dan
perampasan hak asasinya, yang semua tindakan ini adalah termasuk kejahatan atau
viktimisasi kriminal.
Dari penjelasan diatas dapat
di tarik suatu kesimpulan bahwa faktor terjadinya KDRT dalam keluarga yaitu
karena diantaranya takut bahwa aib keluarga ketahuan oleh orang lain dan yang
paling penting bahwa masih kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk melapor
masalah ini ke kantor polisi sehingga tidak ada nya putusan atau sanksi yang
jelas bagi si pelaku KDRT tersebut dan tidak adanya perlindungan bagi si korban.
Padahal apabila dilihat dari dampaknya akan menimbulkan dampak yang sangat
berbahaya terutama bagi keluarga itu sendirinya khususnya dalam hal ini yang
menjadi korban yaitu perempuan dan anak-anaknya.
0 komentar:
Posting Komentar