Paradigma
pemikiran yang berkembang seputar korelasi antara politik dan agama selalu
diwakili dua kutub pemikiran yang bertolak belakang. Qaradhawi
mengistilahkannya dengan kelompok sekuler dan kelompok Islamis. Masing-masing
kelompok ini intens mengembangkan premis-premis yang mendukung pendapatnya
dalam berbagai tulisan, buku dan wacana.
Perspektif
kaum sekuler dan materialis selalu menganggap bahwa agama tidak lebih hanya
sebatas hubungan vertikal antara seorang individu dengan Tuhannya. Bahkan
mereka mengklaim bahwa agama dan politik adalah suatu hal yang mustahil untuk
dipertemukan. Agama bersumber dari Tuhan, karakteristiknya pun selalu identik
dengan nilai-nilai kesucian, dan tujuan jangka panjangnya adalah kehidupan
akhirat. Sementara politik adalah kreativitas dan rekaan akal manusia,
karakteristiknya pun selalu kotor dan penuh tipu daya, dan tujuan akhirnya
tidak lebih hanya pemuas kehidupan dunia. Pemikiran ini berkembang di dunia
barat, namun cukup banyak juga pemikir Arab dan dunia Islam yang berpikiran sama,
semisal Ali Abdul Raziq dan Mustafa Kemal Attaturk.
Berbeda
dengan tokoh-tokoh seperti Khairuddin al-Tunisy, Muhamad Abduh, Hasan al-Banna,
Syakib Arselan dan al-Maududy. Mereka melihat bahwa Islam di samping sebagai
aqidah juga merupakan syariah dan peraturan serta perundangan yang mengatur
seluruh dimensi kehidupan. Islam sebagai aqidah dan syariah, dakwah dan negara,
serta agama dan politik. Pemikiran mereka secara spesifik berangkat dari tiga
perspektif:
Pertama, Islam sebagai agama yang komprehensif
mengatur seluruh dimensi kehidupan. Baik dimensi materiil ataupun spirituil,
baik secara individu maupun kolektif dalam konteks kehidupan bernegara.
Bahkan seluruh gerak individu muslim tidak lepas dari hukum (wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah). Barangkali apa yang telah Allah firmankan dalam (QS:
al-Nahl: 89): “…Dan kami turunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu, sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang
yang berserah diri”. Merupakan justifikasi nilai-nilai Islam sebagai
agama yang komprehensif.
Kedua, Islam sangat mengecam sikap parsial dalam
pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilainya. Karena, seluruh aturan dan
dogma yang ada di dalamnya merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa
dipisahkan. Seorang muslim tidak hanya harus menerjemahkan kemuslimannya di
masjid, mushalla, akad pernikahan, penyelenggaraan kematian dan sebagainya.
Akan tetapi ia tetap seorang muslim ketika bergelut di dunia bisnis, berorasi
politik dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan dalam berperang pun ia harus tetap
menjaga etika yang telah diajarkan Islam dalam peperangan. Firman Allah dalam
(QS. al-Baqarah: 208): “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam
secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia
musuh yang nyata bagimu”.
Ketiga, Sejak dahulu kala hingga saat ini,
peradaban dan kebudayaan di manapun sadar bahwa sebuah institusi negara atau
kekuatan politik merupakan salah satu sarana terpenting untuk menjalankan
seluruh aktivitas penerapan hukum, perundangan, pengajaran, dan perlindungan
terhadap segala bentuk kerusakan secara internal maupun serangan dari kekuatan
luar yang berniat untuk merampas ataupun menjajah. Bukan hanya itu,
realitas dunia modern saat ini justru lebih menuntut seluruh komponen umat
merambah semua sektor riil dan peluang serta potensi yang ada untuk mengambil
peran. Sebab seorang reformis (muslih) sejati selalu gerah melihat
kezhaliman, ketidakadilan, kebobrokan dan ia selalu menggerakkan potensi
dirinya serta orang-orang yang berada di lingkungannya untuk bangkit. Dan satu
hal penting yang harus digaris bawahi, bahwa kaum reformis dan founding
father gerakan Islam yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam
sebagai undang-undang negara dalam pentas politik tidak menuntut menjadi
penguasa sebuah negara ketika Islam sudah diterapkan sebagaimana mestinya. Bagi
mereka tidak penting siapa yang berkuasa, namun yang terpenting buat mereka
adalah kekuasaan itu ditegakkan atas dasar keadilan dan nilai-nilai Islam yang
sesungguhnya.
Pergumulan
pemikiran sekuler dan gerakan Islamisasi saat ini telah mewarnai hampir di
seluruh dunia Islam. Justifikasi bahwa tidak ada ruang agama dalam politik
selalu dimanfaatkan oleh kelompok sekuler untuk mengganyang gerakan-gerakan
reformis yang berbau islamisasi. Dengan alasan menjaga stabilitas nasional,
pluralitas, yang pada dasarnya hanya untuk sekadar melanggengkan mereka
pada tampuk kekuasaan, kehadiran partai politik Islam untuk berpartisipasi
dalam menjalankan kekuasaan selalu ditekan bahkan dieliminasi.
Jika kita
kritisi ungkapan kelompok sekuler yang berbunyi: “jangan bawa-bawa agama dalam
politik”, maka sekian pertanyaan besar terlebih dahulu harus dijawab. Apakah
maksudnya bahwa perpolitikan itu tidak perlu mengindahkan nilai-nilai agama?
Sehingga harus benar-benar lepas dari aturan agama? Sehingga politik hanya
berpihak kepada hal-hal pragmatis yang mengedepankan asas manfaat di atas
segalanya? Jika memang demikian maka pada dasarnya politik seperti itu sama
persis dengan prinsip Machiavelli yang memisahkan antara politik dan etika dan
akhirnya menghalalkan cara apapun untuk sekadar mencapai sebuah tujuan.
Kecemasan
kelompok sekuler dan materialis dengan politik Islam sama sekali tidak
mendasar. Karena ketika Islam mewarnai perpolitikan, tidak berarti
perampasan terhadap kekuasaan. Karena rampas-merampas bukan karakteristik
seorang politisi Islami. Karena yang terpenting bagi mereka adalah partisipasi
aktif dengan target bagaimana percaturan politik yang berlangsung tetap menjaga
nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman, menjunjung tinggi keadilan dan
kejujuran, menolak semua bentuk kediktatoran dan kesewenangan serta dalam waktu
yang sama berusaha selalu mewujudkan tujuan tertinggi penciptaan manusia
sebagai khalifah di bumi sesuai dengan manhaj rabbani yang
bisa memberikan manfaat (rahmatan lilálamin) kepada semua manusia.
Sejarah
Islam dan kaum muslimin sepanjang perjalanannya tidak pernah mengenal pemisahan
antara agama dan negara. Rasulullah saw pun menggabungkan dua bentuk kekuasaan;
agama dan pemerintahan negara. Sehingga para fuqaha membagi
perilaku beliau di satu sisi sebagai penyampai risalah, di sisi lain sebagai
hakim yang menyelesaikan persengketaan, serta sebagai pemimpin dalam ruang
lingkup yang lebih umum. Begitu juga yang telah dilakukan oleh khulafa
al-Rasyidun, dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah hingga akhir
keruntuhannya pada tahun 1924 M. Bahkan Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah
merangkum definisi para ulama tentang khilafah dengan ungkapan: “…Khilafah adalah
pengganti tugas-tugas Rasulullah saw untuk menjaga agama dan
politik pemerintahan”.
Tiga belas
abad lebih perjalanan Islam sepanjang sejarah tidak pernah kenal pemisahan
antara agama dan politik, antara aqidah dan syariah, antara ibadah dan muamalah,
antara masjid dan pasar atau antara iman dan kehidupan. Sampai akhirnya
negeri-negeri Islam jatuh ke dalam kekuasaan penjajahan Barat yang kemudian
mewarnai seluruh dimensi kehidupan kaum muslimin jauh dari nilai-nilai Islam
dan kebesaran para pendahulunya. Akan tetapi, ruh baru mulai memunculkan cahaya
terang kebangkitan yang merembes gelapnya fajar dan rerimbunan semak belukar.
Semoga kejayaan tetap bersama Islam. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar