Minggu, 17 Februari 2013

Otonomi (Provinsi VS Kab. Kota)


Banyak wacana yang berkembang menginginkan dihapuskannya konsep local self government atau menghilangkan otonomi provinsi. Dengan kata lain, kedudukan pemerintahan provinsi hanya sebagai wakil dan menjalankan fungsi/kewenangan pemerintah pusat di daerah.

ISU
 mengenai titik berat otonomi daerah seolah tidak pernah tuntas dan seringkali kembali muncul ke permukaan. Meski pada era sekarang sudah jelas bahwa titik berat otonomi daerah berada di tingkat kabupaten/kota, masih banyak kalangan yang menginginkan adanya otonomi di tingkat provinsi.

Salah satunya adalah pakar pemerintahan Ryaas Rasyid yang berpendapat otonomi seharusnya berada di provinsi dengan pertimbangan masalah pengkoordinasian resources (SM, 23/10). 



Kontroversi titik berat otonomi ini sesungguhnya bukan hal baru. Perdebatan biasanya dipicu oleh tarik-menarik kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. ”Perebutan” kewenangan terjadi di antara tiga tingkat pemerintahan itu.

Ketika suatu kewenangan (urusan) dijalankan oleh suatu tingkatan pemerintahan tertentu, maka tingkatan pemerintahan yang lain cenderung akan kehilangan kewenangan tersebut.

Sejak implementasi UU Nomor 22/1999, titik berat otonomi daerah (secara konsekuen) berada di kabupaten/kota. Artinya, sejak saat itu pula pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan kewenangan otonomnya. Semua urusan pemerintahan dijalankan oleh kabupaten/kota, kecuali urusan yang mutlak menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, Hankam, moneter, yustisi, dan agama).

Sebaliknya, kewenangan pemerintah provinsi menjadi sangat minimal. Hal ini berdampak pada makin kaburnya eksistensi pemerintah provinsi. Ide yang pernah dilontarkan sejumlah pihak untuk menghilangkan DPRD Provinsi merupakan bentuk ”gugatan” terhadap eksistensi pemerintahan provinsi. Demikian pula ide penunjukan pejabat gubernur oleh pemerintah pusat, dan bukan dipilih langsung oleh rakyat.

Kenyataan ini sebenarnya menggambarkan tidak strategisnya pemerintahan provinsi, dan sekaligus menguatkan asumsi bahwa posisi pemerintahan provinsi serba tanggung atau mengambang. Sehingga muncul ide penghapusan provinsi, seperti pernah dikemukakan mantan mendagri Rudini. Benarkah pemerintahan provinsi tak diperlukan lagi ? Atau justru titik berat otonomi ditempatkan di pemerintahan provinsi ?

Daerah Otonom

Menyimak  sistem pemerintahan di Indonesia waktu sekarang, keberadaan provinsi merupakan konsekuensi dari konsep local state government. Konsep itu menuntut adanya wilayah administrasi pemerintah pusat di daerah —dalam hal ini direpresentasikan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan instansi vertikal di daerah.

  Pemerintahan provinsi menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, gubernur menjalankan pula kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepadanya.

Selain sebagai konsekuensi konsep local state government, keberadaan provinsi juga guna mewujudkan konsep local self government. Konsep local self government melahirkan daerah otonom, yang antara lain direpresentasikan dengan keberadaan lembaga legislatif (DPRD).

Dua konsep ini menyebabkan gubernur memiliki fungsi ganda, yakni sebagai kepala daerah otonom dan wakil pemerintah pusat di daerah.

Banyak wacana yang berkembang menginginkan dihapuskannya konsep local self government atau menghilangkan otonomi provinsi. Dengan kata lain, kedudukan pemerintahan provinsi hanya sebagai wakil dan menjalankan fungsi/kewenangan pemerintah pusat di daerah.

Sejumlah argumentasi disodorkan. Selain karena titik berat otonomi berada di tingkat kabupaten / kota, dan wilayah telah ”terbagi habis” ke dalam lingkup kabupaten/kota, penghapusan otonomi di tingkat provinsi penting untuk menyederhanakan birokrasi dan memotong rantai panjang birokrasi.

Lihat saja, struktur organisasi pemerintahan provinsi cenderung gemuk. Birokrasi yang tak ramping berpotensi menimbulkan keruwetan dan pemborosan. Dari sudut pandang efisiensi, penyelenggaraan pemerintahan idealnya mampu mencapai skala ekonomis.

Acapkali yang terjadi di pemerintahan provinsi (juga kabupaten/kota) anggaran pemerintah untuk belanja pegawai demikian besar jauh mengungguli belanja publik/pembangunan. Logikanya, jika birokrasi pemerintahan provinsi ramping, maka akan banyak anggaran yang bisa terserap untuk kesejahteraan masyarakat.

Persoalan efektivitas dan efisiensi birokrasi juga berhubungan dengan tumpang tindihnya pelaksanaan kewenangan antara pemerintah provinsi dengan kewenangan kabupaten/kota.

Perlu kajian lebih mendalam untuk melihat betapa tidak maksimal pemanfaatan anggaran negara, apabila pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota saling berlomba menyelenggarakan kewenangan yang sama.

Meski UU Nomor 32/2004 dan perubahannya relatif telah mengatur pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota secara lebih tegas (lihat pasal 10 s/d 14) serta lebih jelas mengatur pola hubungan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan antarpemerintahan daerah di bidang keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam (lihat pasal 15 s/d 18), kemungkinan terjadinya benturan kewenangan tetap besar.

Kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi sebagai dasar pembagian kewenangan antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota, sesuai penjelasan umum UU 32/2004, pada kenyataannya sulit dicapai.

Perubahan Bertahap

Intinya, sistem pemerintahan kita harus ditata berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas. Prinsip ini sulit diwujudkan bila titik berat otonomi daerah ada di dua tempat (provinsi dan kabupaten/kota).

Untuk menghapus titik berat otonomi di kabupaten/kota jelas sangat berat. Sistem yang sekarang berjalan bisa dikata telah terbangun cukup mantap. Selain itu, titik berat otonomi di kabupaten/kota juga dipandang tepat karena lebih dekat dengan masyarakat.

Sementara  wacana untuk menghapus daerah otonom provinsi diyakini pula tidak mudah. Resistensi utama diperkirakan berasal dari elit birokrasi dan elit politik di tingkat provinsi. Sebab perangkat daerah pemerintahan provinsi akan banyak terpangkas, termasuk DPRD Provinsi.

Posisi provinsi (gubernur) lebih berperan sebagaimana tercantum pada pasal 38 (1), yaitu bertugas dan berwewenang melakukan: a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, b) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah, serta c) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah propinsi dan kabupaten/kota.

Eksistensi provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah (perwujudan local state government) masih dianggap penting. Geografi wilayah Indonesia yang luas dan jumlah daerah otonom kabupaten/kota yang banyak memerlukan provinsi sebagai penghubung antara kabupaten/kota dengan pusat.

Dengan hanya menjalankan fungsi wakil pemerintah pusat di daerah, pemerintahan provinsi menjadi sangat ramping. Dampaknya, banyak pejabat birokrasi dan pejabat politik di tingkat provinsi yang bakal kehilangan jabatannya.

Jadi, kalau kebijakan ini dilakukan drastis, gejolak dalam pemerintahan provinsi berpotensi besar akan terjadi. Kebijakan penghapusan daerah otonom provinsi jelas tidak populer di mata para elit propinsi. Kalau pun di masa depan kebijakan itu akan ditempuh, seyogyanya dilakukan secara bertahap.

Untuk masa kini, ketika kabupaten/kota belum berhasil mengatasi masalah kemasyarakatan di daerahnya, keterlibatan pemerintahan provinsi masih dibutuhkan.

Demikian pula ketika antarkabupaten/kota belum terjalin kerja sama yang sinergis, pemerintahan provinsi diperlukan untuk mengkoordinasikan. Ketika relasi pemerintahan kabupaten/kota dengan pusat terjadi masalah, pemerintahan provinsi pun layak menjembataninya.

Di masa depan, kabupaten/kota harus mampu menyelesaikan masalah mikro di daerahnya. Kerja sama antar kabupaten/kota maupun relasinya dengan pusat juga semestinya sudah terbangun lebih harmonis.

Jika kondisi seperti ini yang terjadi, konsekuensinya eksistensi pemerintahan provinsi harus dikurangi. Pada titik ekstrem, sudah saatnya keberadaan daerah otonom provinsi perlu dievaluasi untuk diminimalkan statusnya.

Apabila kita menyadari bahwa hakikat otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan dan pemerintahan kepada masyarakat, maka kebijakan yang mungkin tidak populer itu menjadi langkah tepat untuk ditempuh. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;