Rabu, 24 Oktober 2012

Hak Asasi Tersangka Untuk Mendapat Bantuan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana



 1.1  Latar Belakang Masalah
Salah satu perkembangan yang menjadi isu Internasional ialah Penerapan Hak-hak Asasi Manusia, dan lazimnya Pelaksanaan Hak Asasi tersebut berkaitan erat dengan Proses Peradilan Pidana, atau juga penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim Pemerintahan yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan yang tak terbatas, yang menjadi perhatian pula adalah proses peradilan pidana dimanapun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju, negara berkembang ataupun suatu negara yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, yakni hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan menghargai serta menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.

Sebagaimana tercantum dalam “Law and the Behavioral Sciences”, oleh Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay, halaman 122, yang berjudul: The Practice of Law as Confidence Game: Organization Coopation of a Prefession, oleh Abraham S. Blumberg, dikatakan bahwa, suatu keputusan pengadilan mungkin berlandaskan dasar pemikiran hukum, namun pada saat yang sama keputusan itu mungkin merupakan penipuan diri melalui kemungkinan-kemungkinan yang dibebankan oleh aspek-aspek dari realitas sosial dimana pembuat hukumpun tidak menyadari. Dalam hal perbaikan kondisi seperti ini, proses peradilan pidana yang seharusnya tidak boleh berpihak pada lembaga, atau siapapun selain keadilan, maka dalam proses pidana diharapkan peran serta lembaga bantuan hukum untuk ikut serta menegakkan keadilan.

Lembaga pengadilan menentukan peran bagi pengacara atau pembela dalam suatu kasus kriminil yang sangat berbeda dengan yang digambarkan secara tradisional. Para sosiolog antara lain telah memusatkan perhatian mereka pada pencabutan hak-hak dan ketidak mampuan sosial seperti ras, kesukuan, dan kelas sosial sebagai sumber dari kesalahan seorang tertuduh dalam suatu peradilan pidana. Yang lebih banyak diabaikan adalah variabel dari organisasi pengadilan itu sendiri. Organisasi itu berdasarkan nilai-nilai pragmatis, prioritas birokrasi dan administrasi. Tujuan dan disiplin organisasi membebankan serangkaian tuntutan dan kondisi praktek pada profesi masing-masing dalam peradilan pidana, dimana mereka menanggapi dengan melepaskan ideologi dan komitmen profesional mereka terhadap terdakwa yang menjadi klien mereka dalam melaksanakan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari organisasi pengadilan. Semua personel pengadilan, termasuk pengacara terdakwa cenderung dipilih menjadi “agent-mediator” yang membantu terdakwa menentukan kembali situasinya dan menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan.

1.2  Maksud Dan Tujuan
Maksud dan Tujuan dari penulisan ini adalah Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana  

Salah satu hak yang diberikan kepada tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak lainnya seperti mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak untuk segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain.

Bila dilihat sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan pengaturannya di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan selanjutnya diatur dalam Pasal 69 – 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah: “Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang”. Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar. Dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Begitu pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.

Mengantisipasi akses tersebut serta karena ketentuan Hukum Acara Pidana kita kemudian lebih berorientasi kepada hak-hak asasi manusia, maka di dalam ketentuan-ketentuan sesudahnya hak mendapatkan bantuan hukum itu kemudian diberikan kepada tersangka sejak permulaan pemeriksaan perkaranya. Dalam arti bahwa sejak pemeriksaan tahap penyidikan, seorang tersangka berhak untuk didampingi seorang penasehat hukum.

1.3  Kegunaan
Untuk dapat terjaminnya terpenuhinya hak-hak terpidana tersebut sangat diperlukan adanya program bantuan hukum yang senantiasa memantau pelaksanaan pemberian hak-hak terpidana tersebut. Pemberian bantuan hukum pada dasarnya adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh negara karena belas kasihan dari negara, hal ini penting, karena sering kali bantuan hukum diartikan sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil, karena itu sebuah keharusan.

Namun dalam prakteknya penerapan bantuan hukum sebagai belas kasihan negara tersebut belum terealisasi sebgai mana yang di cita-citakan negara dalam Undang-undangnya, adapun permasalahan lain mungkin adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bantuan hukum sebagai hak-haknya yang harus di penuhi dan juga kurangnya pemberitahuan atau sosialisasi dari pejabat yang berwenang dalam rangka agar tersangka atau terdakwa mengetahiu hak-haknya, sehingga kadang terkesan menghalang-halangi proses pemberian bantuan hukum sebagai hak dari tersangka atau terdakwa, dalam segala proses pemeriksaan dan dalam segala tingka peradilan. Pemenuhan hak atas bantuan hukum terhadap terpidana harus dilakukan oleh Pemerintah sedini mungkin hal ini untuk mencegah agar tidak ada lagi terpidana yang dirampas hak-haknya oleh para aparatur penegak hukum misalnya dibanyak kasus yang sering dijumpai, banyak terpidana yang telah ditahan melebihi masa pidana yang semestinya dijalani, kekerasan sering muncul dalam lembaga pemasyarakatan bahkan intensitasnya menjadi sangat tinggi, kekerasan menjadi ritual dan mengkristal dalam setiap pemeriksaan. Kekerasan berlangsung mulai dari yang spesifik, halus, tidak terasa sampai pada bentuk kekerasan fisik yang menimbulkan cacat permanen.

Perilaku ini tidak dibenarkan dalam aturan tetapi selalu ada dalam pemeriksaan, bahkan tidak jarang terjadi pelecehan seksual atau perilaku tidak bermoral lainnya. Serta tidak terpenuhinya hak-hak terpidana sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Pemenuhan hak atas bantuan hukum mempunyai arti bahwa negara harus menggunakan seluruh sumberdaya nya termasuk dalam bidang eksekutif, legislatif dan administratif untuk mewujudkan hak atas bantuan hukum secara progresif. Negara seharusnya membuat tindakan dengan membuat kebijakan bantuan hukum dalam perspektif acces to justice. Sejatinya, sudah seharusnya pemerintah mulai serius dalam membuat serta menumbuhkan sebuah gerakan bantuan hukum, salah satunya dengan membuat regulasi yang mampu mangatur secara efektif program bantuan hukum terutama terhadap si terpidana yang cendrung diabaikan bahkan tidak di acuhkan, Dalam rangka perhormatan, pengakuan dan penegakan atas hukum dan HAM maka arah kebijakan ditujukan kepada peningkatan pemahaman, menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsisten terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia dengan menunjukan perilaku yang adil dan tidak diskriminatif. penyelenggaraan bantuan hukum yang tidak serius merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berarti bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.

Jadi yang menjadi penghalang penerapan bantuan hukum ini diantaranya juga adanya peranan negara yang kurang menjalankan kewajibanya, dalam memberikan jaminan atas batuan hukum, jaminan dalam arti mengawal pelaksanaan hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat didalam undang-undang. Jadi walaupun hak-hak atas bantuan hukum ini sudah ada didalam Undang-undang, tidak semestinya pemerintah lengah terhadap penerapan bantuan hukum khususnya bagi masyarakat yang tidak mampu. Disamping adanya faktor penghambatlain yaitu kurangnya kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, baik ditingkat penyidikan, penuntutan, persidangan pengadilan, maupun penerapan hukuman, yang melakukan tugasnya dengan sewenang-wenang sehingga banyaknya korban dari perlakukan aparat penegak hukum tersebut.

1.4  Metode
Ø  Metode Ilmiah
Yaitu metode yang didasari dengan teori-teori tertentu dimana teori tadi berkembang melalui penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan data empiris dan tentunya teori tadi dapat diuji kebenarannya secara obyektif.
Ø  Non ilmiah
Dapat dilakukan dengan cara :
v  Akal sehat (logika)
v  Prasangka
v  Intuisi (pendekatan a priori)
v  Penemuan coba-coba
v  Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.




0 komentar:

Posting Komentar

 
;