1.1 Latar
Belakang Masalah
Salah satu
perkembangan yang menjadi isu Internasional ialah Penerapan Hak-hak Asasi
Manusia, dan lazimnya Pelaksanaan Hak Asasi tersebut berkaitan erat dengan
Proses Peradilan Pidana, atau juga penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim
Pemerintahan yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan
yang tak terbatas, yang menjadi perhatian pula adalah proses peradilan pidana
dimanapun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju, negara
berkembang ataupun suatu negara yang menganut prinsip-prinsip hukum modern,
yakni hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan menghargai serta
menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Sebagaimana
tercantum dalam “Law and the Behavioral Sciences”, oleh Lawrence M. Friedman
dan Stewart Macaulay, halaman 122, yang berjudul: The Practice of Law as
Confidence Game: Organization Coopation of a Prefession, oleh Abraham S.
Blumberg, dikatakan bahwa, suatu keputusan pengadilan mungkin berlandaskan
dasar pemikiran hukum, namun pada saat yang sama keputusan itu mungkin
merupakan penipuan diri melalui kemungkinan-kemungkinan yang dibebankan oleh
aspek-aspek dari realitas sosial dimana pembuat hukumpun tidak menyadari. Dalam
hal perbaikan kondisi seperti ini, proses peradilan pidana yang seharusnya
tidak boleh berpihak pada lembaga, atau siapapun selain keadilan, maka dalam
proses pidana diharapkan peran serta lembaga bantuan hukum untuk ikut serta
menegakkan keadilan.
Lembaga
pengadilan menentukan peran bagi pengacara atau pembela dalam suatu kasus
kriminil yang sangat berbeda dengan yang digambarkan secara tradisional. Para
sosiolog antara lain telah memusatkan perhatian mereka pada pencabutan hak-hak
dan ketidak mampuan sosial seperti ras, kesukuan, dan kelas sosial sebagai
sumber dari kesalahan seorang tertuduh dalam suatu peradilan pidana. Yang lebih
banyak diabaikan adalah variabel dari organisasi pengadilan itu sendiri.
Organisasi itu berdasarkan nilai-nilai pragmatis, prioritas birokrasi dan
administrasi. Tujuan dan disiplin organisasi membebankan serangkaian tuntutan
dan kondisi praktek pada profesi masing-masing dalam peradilan pidana, dimana
mereka menanggapi dengan melepaskan ideologi dan komitmen profesional mereka
terhadap terdakwa yang menjadi klien mereka dalam melaksanakan
tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari organisasi pengadilan. Semua personel
pengadilan, termasuk pengacara terdakwa cenderung dipilih menjadi
“agent-mediator” yang membantu terdakwa menentukan kembali situasinya dan
menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan.
1.2
Maksud Dan
Tujuan
Maksud dan
Tujuan dari penulisan ini adalah Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada
tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi
dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat
bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak
saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga
mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang
ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas
mengenai Hukum Acara Pidana
Salah satu
hak yang diberikan kepada tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara
pidana adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak
lainnya seperti mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak
untuk segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang
seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain.
Bila dilihat
sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan
bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam
ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut
dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut
diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka
yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi
pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Hak untuk
mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan
pengaturannya di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan
diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan
selanjutnya diatur dalam Pasal 69 – 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut
dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah: “Penasehat hukum berhak
menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang”. Dalam
menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar.
Dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya
suatu Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut.
Begitu pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara
Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam
proses penyelesaian perkara pidana.
Bila
diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat
perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam
hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru
diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara
dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka.
Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses
penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti
penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka.
Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena
diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk
mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan
apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem
tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.
Mengantisipasi
akses tersebut serta karena ketentuan Hukum Acara Pidana kita kemudian lebih
berorientasi kepada hak-hak asasi manusia, maka di dalam ketentuan-ketentuan
sesudahnya hak mendapatkan bantuan hukum itu kemudian diberikan kepada
tersangka sejak permulaan pemeriksaan perkaranya. Dalam arti bahwa sejak
pemeriksaan tahap penyidikan, seorang tersangka berhak untuk didampingi seorang
penasehat hukum.
1.3
Kegunaan
Untuk
dapat terjaminnya terpenuhinya hak-hak terpidana tersebut sangat diperlukan
adanya program bantuan hukum yang senantiasa memantau pelaksanaan pemberian
hak-hak terpidana tersebut. Pemberian bantuan hukum pada dasarnya adalah hak
asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh negara karena belas kasihan dari
negara, hal ini penting, karena sering kali bantuan hukum diartikan sebagai
belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan hukum
juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena
itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil, karena itu
sebuah keharusan.
Namun
dalam prakteknya penerapan bantuan hukum sebagai belas kasihan negara tersebut
belum terealisasi sebgai mana yang di cita-citakan negara dalam
Undang-undangnya, adapun permasalahan lain mungkin adalah kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang bantuan hukum sebagai hak-haknya yang harus di penuhi dan
juga kurangnya pemberitahuan atau sosialisasi dari pejabat yang berwenang dalam
rangka agar tersangka atau terdakwa mengetahiu hak-haknya, sehingga kadang
terkesan menghalang-halangi proses pemberian bantuan hukum sebagai hak dari
tersangka atau terdakwa, dalam segala proses pemeriksaan dan dalam segala
tingka peradilan. Pemenuhan hak atas bantuan hukum terhadap terpidana harus
dilakukan oleh Pemerintah sedini mungkin hal ini untuk mencegah agar tidak ada
lagi terpidana yang dirampas hak-haknya oleh para aparatur penegak hukum
misalnya dibanyak kasus yang sering dijumpai, banyak terpidana yang telah
ditahan melebihi masa pidana yang semestinya dijalani, kekerasan sering muncul
dalam lembaga pemasyarakatan bahkan intensitasnya menjadi sangat tinggi,
kekerasan menjadi ritual dan mengkristal dalam setiap pemeriksaan. Kekerasan
berlangsung mulai dari yang spesifik, halus, tidak terasa sampai pada bentuk
kekerasan fisik yang menimbulkan cacat permanen.
Perilaku
ini tidak dibenarkan dalam aturan tetapi selalu ada dalam pemeriksaan, bahkan
tidak jarang terjadi pelecehan seksual atau perilaku tidak bermoral lainnya.
Serta tidak terpenuhinya hak-hak terpidana sebagaimana yang diamanatkan oleh
undang-undang. Pemenuhan hak atas bantuan hukum mempunyai arti bahwa negara
harus menggunakan seluruh sumberdaya nya termasuk dalam bidang eksekutif, legislatif
dan administratif untuk mewujudkan hak atas bantuan hukum secara progresif.
Negara seharusnya membuat tindakan dengan membuat kebijakan bantuan hukum dalam
perspektif acces to justice. Sejatinya, sudah seharusnya pemerintah mulai
serius dalam membuat serta menumbuhkan sebuah gerakan bantuan hukum, salah
satunya dengan membuat regulasi yang mampu mangatur secara efektif program
bantuan hukum terutama terhadap si terpidana yang cendrung diabaikan bahkan
tidak di acuhkan, Dalam rangka perhormatan, pengakuan dan penegakan atas hukum
dan HAM maka arah kebijakan ditujukan kepada peningkatan pemahaman, menciptakan
penegakan dan kepastian hukum yang konsisten terhadap nilai-nilai Hak Asasi
Manusia dengan menunjukan perilaku yang adil dan tidak diskriminatif.
penyelenggaraan bantuan hukum yang tidak serius merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berarti bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.
Jadi
yang menjadi penghalang penerapan bantuan hukum ini diantaranya juga adanya
peranan negara yang kurang menjalankan kewajibanya, dalam memberikan jaminan
atas batuan hukum, jaminan dalam arti mengawal pelaksanaan hak-hak tersangka
atau terdakwa yang terdapat didalam undang-undang. Jadi walaupun hak-hak atas
bantuan hukum ini sudah ada didalam Undang-undang, tidak semestinya pemerintah
lengah terhadap penerapan bantuan hukum khususnya bagi masyarakat yang tidak
mampu. Disamping adanya faktor penghambatlain yaitu kurangnya kesadaran hukum
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, baik ditingkat penyidikan,
penuntutan, persidangan pengadilan, maupun penerapan hukuman, yang melakukan
tugasnya dengan sewenang-wenang sehingga banyaknya korban dari perlakukan
aparat penegak hukum tersebut.
1.4 Metode
Ø Metode Ilmiah
Yaitu metode
yang didasari dengan teori-teori tertentu dimana teori tadi berkembang melalui
penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan data empiris dan tentunya
teori tadi dapat diuji kebenarannya secara obyektif.
Ø Non ilmiah
Dapat dilakukan dengan cara :
v Akal sehat (logika)
v Prasangka
v Intuisi (pendekatan a priori)
v Penemuan coba-coba
v Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.
0 komentar:
Posting Komentar