Selasa, 23 Oktober 2012

Revisi UU KPK No 30 Tahun 2002

Rencana revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituding melemahkan peran KPK. Setidaknya ada dua pasal dalam draft revisi yang menjadi perdebatan, dan dituding sebagai upaya melemahkan KPK.


Dalam draft revisi itu, pasal kewenangan KPK tentang penuntutan, dan penyadapan, menjadi sorotan utama. Di antaranya pasal 6 huruf C. Rencananya kata penuntutan dalam UU tersebut, dihapuskan. Sehingga, KPK hanya berhak melakukan hingga tahap penyidikan kasus.

Sementara pasal 12 ayat 1 huruf A, kata merekam akan dihapuskan. Sehingga KPK harus mendapat izin ketika melakukan penyadapan. Tak hanya itu, DPR juga mengusulkan pembentukan dewan pengawas yang tercantum pada pasal 37-A, untuk mengawasi pelaksanaan tugas wewenang KPK.(TII)

Menurut saya , ada empat point penting tentang masalah revisi uu kpk ini . Pertama, KPK diperbolehkan memeriksa rekening bank jika nasabah sudah berstatus tersangka. Ini karena KPK tidak dibenarkan mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Tetapi, hal tersebut tidak dibenarkan dengan dalih UU kerahasiaan bank. Dalam konteks ini, dikhawatirkan terdapat peluang besar pihak bank “bermain mata” dengan para koruptor. “Hal ini harus dibahas secara serius sebagai suatu upaya perbaikan atas UU KPK,”

Kedua, dalam masalah penyidikan, UU memberikan wewenang kepada KPK untuk menyidik. Tetapi KPK tidak boleh merekrut penyidik sendiri, sebab menurut KUHAP penyidik harus polisi atau jaksa. “Oleh karenanya saya mendorong untuk pelembagaan penyidik independen yang menjadi salah satu organ KPK,”

Ketiga, perlu penguatan pengawasan internal. Ini untuk menjamin integritas kelembagaan KPK. Sebab, salah satu penyebab turunnya persepsi publik terhadap kinerja KPK disebabkan adanya persepsi bahwa Pimpinan KPK terlibat mafia hukum. “Dan KPK dianggap bermain mata dalam penanganan beberapa kasus tertentu,”

Contohnya pemberian fasilitas istimewa kepada terperiksa KPK mantan Jamintel Kejagung Wisnu Subroto. Lalu, dugaan pertemuan ketua KPK Antasari Azhar dengan Anggoro Widjojo, pelanggaran kode etik terkait dengan kasus Nazarudin yang dilakukan oleh Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Sekjen KPK Bambang Sapto, yang oleh Komite Etik dinyatakan bulat melanggar kode etik pegawai KPK.

Selain itu, pelanggaran kode etik yang lain dilakukan oleh dua komisioner KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Haryono Umar terkait dengan kasus Nazarudin.
Keempat, berkaitan dengan isu kewenangan penyadapan. Kewenangan ini kerap kali menjadi diskursus dimasyarakat, pada satu sisi banyak keberhasilan KPK yang berawal dari penyadapan dan akhirnya berbuah tangkap tangan.

“Pengaturan yang demikian sepertinya telah menjadi kebutuhan di Indonesia, baik sebagai bagian dari UU KPK ataupun berdiri sendiri dalam sebuah UU Penyadapan,”
Namun pada sisi lain, saya khawatir kewenangan penyadapan yang liar akan menjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power )

0 komentar:

Posting Komentar

 
;